Mungkin karena itulah, Ghamidiyah—wanita
suku Ghamidi dari Juhainah—dicekam rasa takut yang luar biasa.
Pasalnya, karena khilaf, ia terjerumus ke dalam lembah nista: berzina!
Segera setelah sadar dari khilafnya, ia pun bergegas menemui Baginda
Rasulullah SAW, meminta beliau untuk segera merajam dirinya sampai mati
(HR at-Tirmidzi). Tentu, kesediaan Ghamidiyah untuk dirajam dilakukan
dengan sadar karena ia amat khawatir, jika tidak dirajam di dunia, azab
yang jauh lebih pedih siap menunggu dirinya di akhirat.
Namun, tidak banyak diketahui, ada dosa
yang jauh lebih besar daripada zina. Karena itu, pasti azab bagi
pelakunya pun lebih dahsyat dan lebih mengerikan daripada yang dialami
oleh para pezina. Itulah riba!
Tentang dosa riba bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya sendiri (HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan Al-Baihaqi dalam Su’ab al-Imân).
Zina adalah dosa besar. Apalagi menzinai
ibu sendiri, tentu lebih besar lagi dosanya. Namun, kata Nabi SAW, itu
baru setara dengan dosa riba yang paling ringan. Lalu bagaimana dengan
dosa riba yang paling berat?!
Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Satu
dirham riba yang dimakan oleh seseorang, sementara ia tahu, adalah
lebih berat (dosanya) daripada berzina dengan 36 pelacur (HR Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Satu dirham saat ini hanyalah setara dengan Rp 60 ribu saja . Dengan kata lain, seseorang yang memakan harta hasil riba
hanya Rp 60 ribu saja sama dengan telah berzina dengan 36 pelacur. Lalu
bagaimana dengan harta yang mengandung riba yang jumlahnya lebih dari
itu: jutaan hingga milyaran rupiah? Andai disejajarkan dengan hukuman
bagi pezina, berapa puluh, berapa ratus bahkan berapa ribu kali pelaku
riba harus dirajam? Bagaimana pula dengan azab yang bakal dia rasakan di
akhirat? Tentu amat dahsyat dan mengerikan!
Secara etimologi, riba berarti tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah) (Lihat: Al-Mu’jam al-Wasîth, hlm. 350; Al-Misbah al-Munîr, III/345); juga berarti bertambah dan bertumbuh (zâda wa namâ) (Lihat: Al-Qamus al-Muhîth, III/423)
Adapun secara terminologi, menurut Muhammad asy-Syarbini, riba adalah suatu
akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika dilangsungkan tidak
diketahui kesamaannya menurut ukuran syariah, atau adanya penundaan
penyerahan kedua barang atau salah satunya (Lihat: Mughni al-Muhtâj, VI/309).
Terkait definisi ini, Abu Said al-Khudri ra. menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Siapa
saja yang memberikan tambahan atau meminta tambahan, ia telah berbuat
riba. Orang yang mengambil dan orang yang memberi—dalam hal ini—sama
saja.” (HR Muslim).
Lalu siapa yang disebut pelaku riba? Dalam Shahîh Muslim, dari penuturan Jabir bin Abdillah ra. dinyatakan, “Rasulullah SAW
telah melaknat pemakan riba (pemberi pinjaman), peminjam (nasabah),
pencatat (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan,
“Mereka semua itu sama (sama-sama berdosa).” (HR Muslim).
Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang
diterapkan di tengah-tengah kaum Muslim saat ini, riba tentu banyak
ragamnya. Di antaranya adalah: kredit dan tabungan berbunga
(deposito); jual-beli mata uang (valuta asing) yang tidak
diserahterimakan secara tunai di tempat transaksi; kredit properti
berbasis bunga, dll. Selain itu, banyak praktik bisnis yang secara tidak
langsung juga berhubungan dengan riba seperti: jual-beli saham yang dilakukan oleh bank, perusahaan atau lembaga-lembaga keuangan yang tidak sepi dari unsur riba, dll.
Maka dari itu, setiap Muslim harus mewaspadai jenis-jenis riba, termasuk akad-akad tidak syar’i
ataupun yang bersentuhan dengan riba, langsung ataupun tidak langsung.
Hal ini karena riba adalah masalah besar dan risikonya pun amat besar,
baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, jelas harta-harta yang
bercampur riba tidak akan berkah, bahkan bakal musnah (QS al-Baqarah
[2]: 276). Di akhirat, sebagaimana dijelaskan di awal, jelas riba bisa
mendatangkan azab yang amat pedih; pelakunya bisa kekal di neraka (QS
al-Baqarah [2]: 276).
Karena itu, mari kita tinggalkan dosa
riba, yang sesungguhnya lebih keji daripada zina. Sambutlah seruan Allah
SWT (yang artinya): Bertobatlah kalian semua, wahai kaum Mukmin, agar kalian beruntung(TQS an-Nur [24]: 31). []
0 komentar:
Posting Komentar